Thailand, negara yang sebelumnya dikenal karena kebijakannya yang ramah terhadap mata uang kripto, kini memulai inisiatif pajak yang bertujuan untuk mengumpulkan pendapatan asing dari para pedagang mata uang kripto. Motif pemerintah di balik langkah ini adalah untuk menghasilkan pendapatan guna membiayai langkah-langkah stimulus ekonominya, termasuk airdrop nasional yang direncanakan. Pada tanggal 19 September, Bangkok Post mengungkapkan bahwa Departemen Pendapatan Thailand telah menetapkan pandangannya pada pendapatan luar negeri, dengan menyebutkan secara spesifik tentang pedagang mata uang kripto.
Di bawah peraturan baru ini, individu yang mendapatkan penghasilan dari sumber luar negeri, baik dari pekerjaan atau aset, akan dikenakan pajak penghasilan pribadi. Target utama dari kebijakan pajak ini adalah warga negara Thailand dan warga negara asing yang tinggal di Thailand selama lebih dari 180 hari per tahun.
Para ahli hukum telah mengindikasikan bahwa target spesifik kebijakan ini termasuk penduduk yang terlibat dalam perdagangan pasar saham asing melalui pialang asing dan pedagang mata uang kripto. Pembenaran pemerintah Thailand untuk langkah ini adalah untuk memastikan bahwa setiap orang membayar pajak yang adil, karena pemerintah Thailand mencari sumber pendapatan baru untuk mendanai langkah-langkah stimulus ekonominya.
Penting untuk dicatat bahwa ini bukan pertama kalinya Thailand memberlakukan peraturan pajak pada pedagang kripto. Pada Januari 2022, keuntungan perdagangan mata uang kripto dikenakan pajak capital gain sebesar 15%. Namun, pada Maret 2022, pemerintah membebaskan pedagang kripto dari PPN wajib 7% di bursa resmi dan menawarkan pembebasan pajak hingga 10 tahun bagi investor yang berinvestasi di startup kripto di dalam negeri setidaknya selama dua tahun.
Belakangan ini, Thailand telah mengadopsi peraturan yang lebih ketat mengenai mata uang kripto. Pada bulan April tahun lalu, negara ini melarang penggunaan mata uang kripto sebagai alat pembayaran, dan hanya memperbolehkannya sebagai aset untuk investasi. Pada Januari 2023, peraturan kripto baru diperkenalkan untuk kustodian kripto setelah runtuhnya bursa kripto yang berbasis di Bahama, FTX, pada November 2022.
Regulator Thailand juga melarang bursa kripto untuk menyediakan layanan pinjaman pada bulan Juli dan mengamanatkan penafian risiko perdagangan yang jelas untuk pelanggan perdagangan kripto. Pada bulan Agustus, Srettha Thavisin, seorang taipan bisnis terkemuka, ditunjuk sebagai Perdana Menteri Thailand. Selama kampanye pemilihannya, ia menjanjikan airdrop sebesar $300 untuk setiap warga negara Thailand yang berusia 16 tahun ke atas.
Kebijakan pajak ini muncul pada saat yang krusial bagi Thailand, karena pemerintah telah meluncurkan berbagai reformasi ekonomi, termasuk airdrop nasional yang disebutkan di atas, untuk menstimulasi ekonomi nasional. Kebijakan pemberian mata uang digital ini diperkirakan akan menelan biaya sekitar 2 triliun baht ($56 miliar). Namun, indeks acuan SET di negara ini telah mengalami penurunan 8% pada tahun ini, menjadikannya salah satu pasar saham dengan kinerja terburuk di Asia. Para investor asing telah menarik dana sekitar $4,3 miliar dari pasar saham Thailand.
Meskipun tujuan pemerintah Thailand dengan kebijakan pajak ini adalah untuk meningkatkan pendapatan, kebijakan ini mungkin memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Kebijakan ini dapat menghalangi investor asing, terutama bankir swasta, yang mungkin memandang lingkungan regulasi di Thailand sebagai tidak pasti. Selain itu, kebijakan ini dapat memperburuk ketidaksetaraan pendapatan di Thailand, sebuah negara yang telah berjuang dengan tingkat ketidaksetaraan pendapatan yang tinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.